
Potensi dan Akselerasi Agribisnis Mete
Repost - investing.com
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
Kacang mete (Anacardium occidentale) merupakan salah satu komoditas perkebunan eksotis yang menyimpan potensi besar dalam lanskap pertanian Indonesia. Dikenal sebagai camilan premium, kacang mete tidak hanya diminati di dalam negeri, tetapi juga mencuri perhatian pasar global. Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa hampir seluruh produksi mete Indonesia berasal dari petani kecil. Pada 2018, sekitar 99,8 persen dari total produksi nasional sebesar 136,4 ribu ton dihasilkan oleh perkebunan rakyat.
Produksi mete terus mengalami pertumbuhan, diperkirakan mencapai 156 ribu ton pada 2023. Namun, angka ini masih jauh di bawah para raksasa produsen global seperti Vietnam dan India. Vietnam, misalnya, menguasai sekitar 40,7 persen pangsa ekspor mete dunia dengan volume mencapai tiga juta ton per tahun. Meski volume produksi Indonesia tergolong kecil secara global, potensi ekspornya cukup menjanjikan. Pada 2023, ekspor mete Indonesia mencapai 62,8 juta kilogram dengan nilai USD 51,6 juta (sekitar Rp835 miliar). Sebagian besar diekspor ke Vietnam (55 persen), disusul India (23 persen), serta Amerika Serikat dan beberapa negara lain.
Meskipun produktivitas petani Indonesia masih tergolong rendah, yakni sekitar 434–800 kg per hektare (bandingkan dengan Vietnam yang bisa di atas 1.500 kg/ha), pemerintah terus mendorong peningkatan daya saing dengan perluasan pasar dan penguatan industri hilir. Di sinilah peran UMKM dan inovasi branding menjadi penentu utama.
UMKM: Penggerak Utama Rantai Produksi
Rantai pasok mete di Indonesia sangat bergantung pada keberadaan petani kecil dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sentra produksi utama berada di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Timur, dengan output masing-masing mencapai 30.000 hingga 50.000 ton per tahun. Setelah panen, biji mete gelondongan biasanya dijual ke pabrik pengolahan, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor.
UMKM menjadi aktor sentral dalam rantai nilai mete. Sejumlah UMKM bahkan sukses mengolah kacang mete menjadi produk camilan bernilai tambah tinggi. East Bali Cashew (EBC), misalnya, mempekerjakan 350 orang dan mengekspor produk mete ke tujuh negara, termasuk AS, Hong Kong, dan Jepang. Renjana, UMKM dari Surabaya, diprakarsai oleh dua mahasiswa yang berhasil mengangkat “kacang lokal banget” menjadi produk premium dengan lima varian rasa. Produk mereka telah menembus pasar ASEAN melalui e-commerce dan pameran dagang. Di Sulawesi Selatan, Kedai Bunly di bawah kepemimpinan Lily Nuryah juga mencatat keberhasilan serupa. Dengan dukungan pelatihan dan pembiayaan dari BRI (JK:BBRI), mereka mampu mengamankan kontrak ekspor ke Malaysia dan menjangkau pasar Singapura, Hong Kong, dan Mesir.
Namun, tak semua UMKM bernasib sama. Banyak di antaranya masih menghadapi kendala klasik: keterbatasan modal, akses teknologi, dan pemasaran digital. Studi oleh Priasti dkk. menyarankan perlunya strategi pemasaran digital yang kuat (SEO, media sosial, branding lokal) yang dikombinasikan dengan pelatihan berkelanjutan bagi petani dan pelaku UKM agar mampu bersaing di pasar global.
Branding Lokal dan Keunggulan Produk
Salah satu kekuatan yang mulai dikembangkan UMKM mete Indonesia adalah pendekatan berbasis branding lokal. Produk mete dari Renjana, misalnya, ditampilkan sebagai “camilan eksklusif dengan rasa Indonesia.” Hal serupa dilakukan EBC yang menonjolkan kualitas premium, bebas gluten, vegan, dan nol kolesterol—ciri khas yang sangat digemari konsumen global. Beberapa brand bahkan menekankan asal-usul geografis seperti “mete Flores” atau “mete Kupang” untuk menarik pasar yang menginginkan keaslian dan cerita di balik produk.
Dalam upaya meningkatkan kualitas dan hasil panen, Kementerian Pertanian melalui Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP) telah merilis lima varietas unggul mete seperti GG-1 dan MR-851. Varietas ini ditujukan untuk menghasilkan biji berkualitas tinggi dengan cita rasa khas, ukuran besar, dan adaptasi optimal di berbagai agroekosistem. Kualitas semacam ini menjadi modal branding yang sangat berharga di pasar internasional.
Promosi juga dilakukan melalui strategi pemasaran terintegrasi. Misalnya, Renjana memanfaatkan kanal e-commerce dan event kampus untuk membangun jaringan pembeli, sementara EBC mengangkat narasi pemberdayaan petani lokal dalam setiap kampanye promosi mereka. Sertifikasi seperti halal, organik, atau fair trade juga mulai diburu pelaku usaha untuk memasuki segmen konsumen sadar lingkungan dan sosial.
Membidik Peluang Pasar Global
Permintaan global terhadap kacang mete meningkat seiring tren gaya hidup sehat dan plant-based. Kacang mete mengandung protein tinggi, lemak tak jenuh, vitamin E, dan antioksidan. Grand View Research mencatat bahwa pasar camilan berbasis mete global diperkirakan mencapai USD 3,085 juta pada 2023 dan akan tumbuh 4,2 persen per tahun hingga 2030.
Konsumen di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia kini lebih sadar terhadap nutrisi dan sumber makanan yang berkelanjutan. Mereka mencari camilan sehat sebagai pengganti produk tinggi gula dan lemak jenuh. Kacang mete masuk kategori superfood dan sering digunakan sebagai bahan baku granola, energy bar, hingga susu nabati. Produk seperti cashew milk atau cashew butter menjadi peluang baru yang belum digarap maksimal oleh Indonesia.
E-commerce membuka ruang distribusi baru bagi pelaku usaha. Dengan platform digital, pelaku UKM dapat langsung menjangkau konsumen luar negeri. Ini terbukti dari Renjana yang sudah mengirim produk ke sejumlah negara ASEAN, serta Bunly yang menjalin kerja sama ekspor dengan koperasi Malaysia. Mengingat sebagian besar biji mete kita masih diekspor dalam bentuk gelondongan, potensi peningkatan nilai tambah melalui pengolahan lokal sangat besar.
Pemerintah, melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Trade Expo Indonesia, dan sertifikasi mutu dari BPOM/SNI, diharapkan dapat mempercepat penetrasi pasar. Terlebih, konsumen global kini menuntut standar kelestarian seperti sertifikat organik, FSSC, dan praktik perdagangan adil. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mete Indonesia menembus segmen premium.
Keberlanjutan: Pilar Masa Depan Industri Mete
Aspek keberlanjutan menjadi sorotan dalam pengembangan mete, baik dari sisi lingkungan maupun sosial. Secara ekologis, tanaman mete tergolong ramah iklim. Ia mampu tumbuh di tanah marginal dan tahan terhadap kekeringan. Bahkan, mete membantu merehabilitasi lahan kritis karena memiliki akar kuat yang menahan erosi. Hal ini menjadikannya pilihan ideal bagi wilayah-wilayah kering seperti NTT dan sebagian Papua.
Dalam aspek pengelolaan limbah, industri mete menghasilkan kulit biji yang kaya akan Cashew Nut Shell Liquid (CNSL). Bahan ini dapat digunakan untuk membuat perekat, pelumas, cat, bahkan pestisida nabati. Di beberapa daerah, limbah kulit mete sudah diolah menjadi arang dan briket sebagai bagian dari ekonomi sirkular.
Pemerintah juga mendorong keberlanjutan melalui program peremajaan tanaman tua (BUN-500) dan distribusi benih unggul. Tujuannya agar petani tetap menanam mete dan tidak beralih ke komoditas lain. Di sisi sosial, mete terbukti berkontribusi pada pemberdayaan perempuan dan pemuda desa. Misalnya, pelatihan pengolahan mete di Kampung Soa, Merauke, telah memberdayakan 20 perempuan untuk memproduksi camilan sehat dan susu mete organik. Hasilnya, pendapatan meningkat dan ketergantungan ekonomi menurun.
Kisah sukses EBC dan Bunly memperkuat narasi ini. EBC meraih penghargaan dari pemerintah AS atas kontribusinya terhadap ekonomi lokal dan pemberdayaan petani. Bunly, dengan pembiayaan dari BRI, berhasil mengangkat kesejahteraan puluhan petani di Sulawesi Selatan, sekaligus memasarkan produknya ke hotel dan transportasi antarkota.
Kacang mete Indonesia berada di persimpangan penting: antara peluang ekspor global dan potensi domestik bernilai tinggi. Dengan sinergi antara pemerintah, petani, UMKM, peneliti, dan sektor swasta, mete dapat menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor nonmigas. Strategi branding lokal, penguatan kualitas, dan komitmen pada keberlanjutan menjadi kunci untuk meraih pasar premium dunia.
Investasi pada industri hilir, pendidikan petani, dan pengelolaan ekosistem produksi akan memastikan bahwa mete tidak hanya menjadi produk ekspor mentah, tetapi juga menjadi simbol kearifan lokal dan keberhasilan ekonomi inklusif. Indonesia tidak harus bersaing dalam volume seperti Vietnam atau India. Kita bisa menonjol dengan gaya, kualitas, dan cerita: menjadikan kacang mete sebagai permata kuliner Nusantara yang mendunia.