• Jl. Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111
  • (0251) 8313083; WA: 085282566991
  • [email protected]
Logo Logo
  • Beranda
  • Profil
    • Overview
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Tugas & Fungsi
    • Pimpinan
    • Satuan Kerja
    • Sumber Daya Manusia
    • Logo Agrostandar
  • Informasi Publik
    • Portal PPID
    • Standar Layanan
      • Maklumat Layanan
      • Waktu dan Biaya Layanan
    • Prosedur Pelayanan
      • Prosedur Permohonan
      • Prosedur Pengajuan Keberatan dan Penyelesaian Sengketa
    • Regulasi
    • Agenda Kegiatan
    • Informasi Berkala
      • LHKPN
      • LHKASN
      • Rencana Strategis
      • DIPA
      • RKAKL/ POK
      • Laporan Kinerja
      • Capaian Kinerja
      • Laporan Keuangan
      • Laporan Realisasi Anggaran
      • Laporan Tahunan
      • Daftar Aset/BMN
    • Informasi Serta Merta
    • Informasi Setiap Saat
      • Daftar Informasi Publik
      • Standar Operasional Prosedur
      • Daftar Informasi Dikecualikan
      • Kerjasama
  • Publikasi
    • Buku
    • Pedum/ Juknis
    • Infografis
  • Reformasi Birokrasi
    • Manajemen Perubahan
    • Deregulasi Kebijakan
    • Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
    • Penataan dan Penguatan Organisasi
    • Penataan Tata Laksana
    • Penataan Sistem Manajemen SDM
    • Penguatan Akuntabilitas
    • Penguatan Pengawasan
  • Kontak

Berita BRMP Perkebunan

Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan

Thumb
9 dilihat       15 Juni 2025

Menggali Potensi Devisa dari Ekspor Lada Indonesia

Repost - agri.kompas.com

Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan

LADA (Piper nigrum), si “mutiara rempah” dari bumi Nusantara, telah lama menjadi primadona komoditas perdagangan dunia. Keharumannya menembus batas benua, sementara kepedasannya memberi karakter kuat pada berbagai kuliner internasional.

Indonesia, sebagai salah satu rumah utama lada dunia, menyimpan potensi besar dalam komoditas ini. Namun, geliat ekspor lada Indonesia sempat melemah. Pada 2023, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor lada hitam hanya mencapai 9.000 ton, angka terendah dalam satu dekade.

Ekspor lada putih sedikit lebih tinggi, sebesar 12.000 ton. Total ekspor lada mentah tahun itu hanya sekitar 21.000 ton. Nilai FOB lada hitam pun anjlok ke sekitar 36 juta dollar AS atau sekitar Rp 560 miliar, jauh di bawah masa jayanya pada 2015. Tren ini mengindikasikan tantangan struktural seperti lemahnya peremajaan tanaman, fluktuasi harga global, dan terbatasnya akses pasar premium.

Namun, titik balik mulai terlihat pada 2024. Ekspor lada Indonesia melonjak tajam, dengan nilai mencapai lebih dari 311 juta dollar AS atau sekitar Rp 5 triliun, naik 106 persen dibanding tahun sebelumnya. Lonjakan ini menandai kebangkitan sektor rempah nasional.

Selama lima tahun terakhir, rata-rata nilai ekspor lada Indonesia berada di kisaran 250 juta dollar AS per tahun, setara Rp 4,2 triliun. Sekitar 80 persen dari total devisa ekspor berasal dari lada hitam, yang dihargai sekitar 3.250 dollar AS per ton (Rp 50 juta).

Sementara itu, lada putih, yang memiliki harga lebih tinggi, yakni sekitar 4.500 dollar AS per ton (Rp 75 juta), menyumbang ekspor sekitar 90 juta dollar AS per tahun, atau senilai Rp 1,35 triliun. Capaian 2024 menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, rempah legendaris ini masih bisa menjadi andalan ekspor dan penggerak ekonomi petani di sentra produksi seperti Lampung, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat.

Persaingan Global

Meskipun dikenal sebagai salah satu negara penghasil rempah-rempah utama, Indonesia saat ini bukanlah eksportir lada terbesar di dunia. Berdasarkan data perdagangan global tahun 2023, Indonesia menempati peringkat keenam dunia dalam ekspor lada. Posisi puncak ditempati oleh India, disusul Vietnam.

Negara-negara seperti China, Brasil, dan Spanyol juga mencatatkan nilai ekspor lada yang lebih tinggi dibanding Indonesia, menandakan persaingan global yang ketat di sektor ini. Ketertinggalan Indonesia terutama disebabkan oleh skala produksi dan tingkat produktivitas yang masih kalah dibanding pesaing utama, khususnya Vietnam.

Di pasar global, Indonesia masih cenderung mengekspor lada dalam bentuk mentah, dengan negara tujuan utama adalah kawasan Asia dan Amerika.

Vietnam menjadi pasar terbesar bagi lada Indonesia dengan porsi 18 persen, diikuti Amerika Serikat (16 persen), China (15 persen), dan India (12 persen). Jepang juga menyerap sekitar 8 persen ekspor lada nasional, sementara negara-negara Eropa seperti Jerman, Belanda, dan Prancis hanya berkontribusi 1–5 persen dari total ekspor.

Meski demikian, potensi ekspor lada Indonesia masih sangat terbuka lebar. Negara-negara seperti China dan kawasan Timur Tengah menunjukkan permintaan yang terus tumbuh. Namun, volume ekspor Indonesia ke kawasan ini masih tergolong kecil dibandingkan dengan besarnya potensi pasar mereka.

Dengan strategi pemasaran yang lebih agresif, peningkatan mutu produk, serta dukungan peremajaan tanaman dan teknologi pascapanen, Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan daya saing lada di pasar ekspor dunia. Transformasi dari eksportir bahan mentah menuju produsen produk hilir bernilai tinggi juga menjadi jalan penting untuk mendongkrak posisi Indonesia dalam rantai nilai global rempah-rempah.

Produktivitas dan Hilirisasi Lada

Produktivitas lada Indonesia masih menjadi tantangan besar dalam memperkuat daya saing global. Rata-rata hasil panen hanya sekitar 700–800 kg per hektar, jauh tertinggal dari Vietnam yang mampu menghasilkan hingga 2,6 ton per hektar. Rendahnya produktivitas ini disebabkan keterbatasan varietas unggul, praktik budidaya yang belum intensif, serta minimnya pemupukan dan sistem irigasi yang efisien.

Dampaknya, biaya produksi per unit menjadi tinggi, dan harga lada Indonesia sulit bersaing di pasar ekspor. Pemerintah pun mendorong peningkatan produktivitas melalui adopsi teknologi budidaya modern dan penguatan kapasitas petani.

Di sisi lain, persoalan mutu pascapanen juga turut menghambat performa ekspor lada Indonesia. Proses tradisional perendaman dalam pembuatan lada putih sering menyebabkan kontaminasi mikroba seperti Salmonella dan E. coli, serta menghasilkan aroma tidak sedap (off-flavor).

Penelitian menunjukkan bahwa kadar bakteri dalam lada putih Indonesia sering kali melampaui batas aman standar ekspor, bahkan menimbulkan klaim pengembalian dari negara tujuan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan swasta mulai memperkenalkan teknologi semi-mekanis untuk memperpendek waktu rendaman dan memperbaiki mutu produk akhir.

Hilirisasi menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah komoditas lada. Hingga kini, ekspor Indonesia masih didominasi lada mentah, sementara produk olahan seperti lada bubuk, minyak atsiri, dan oleoresin masih berkembang terbatas.

Pemerintah mendorong pengolahan lada di tingkat petani, serta kolaborasi dengan industri farmasi dan kosmetik untuk memperluas pemanfaatan ekstrak lada. Dengan peningkatan produktivitas, perbaikan mutu, dan perluasan produk olahan, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat kembali posisinya sebagai salah satu pemain utama dalam perdagangan rempah dunia.

Kebijakan Pemerintah dan Dukungan Petani

Pemerintah Indonesia menempatkan lada sebagai bagian dari program strategis pengembangan rempah-rempah nasional. Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan sejumlah lembaga negara lainnya menginisiasi kebijakan hilirisasi untuk mendorong transformasi lada dari bahan mentah menjadi komoditas industri bernilai tambah.

Fokusnya mencakup intensifikasi pertanian, pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas (FTA), serta pengembangan produk olahan berkualitas tinggi. Selain itu, pengembangan varietas lada unggul terus dilakukan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing di pasar global.

Dukungan terhadap petani lada diperkuat melalui pendampingan budidaya, pelatihan pascapanen, dan teknologi pengolahan semi-mekanis, seperti yang diuji oleh BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian, untuk meningkatkan mutu lada putih.

Pemerintah juga memperluas akses ke pembiayaan dan perlindungan harga melalui skema kredit usaha tani dan asuransi komoditas. Upaya memperkuat identitas produk lada nasional diwujudkan melalui perlindungan Indikasi Geografis (IG), seperti pada Lada Putih Muntok dari Bangka Belitung, yang telah bersertifikat IG hingga 2024.

Label ini diharapkan memperkuat reputasi dan nilai jual lada Indonesia di pasar ekspor. Di tingkat internasional, pemerintah mengintensifkan promosi ekspor melalui diplomasi rempah, termasuk kampanye “Spice Up the World” yang mengandalkan gastrodiplomasi.

Lada Indonesia dipromosikan di berbagai pasar potensial seperti Afrika, Australia, Jepang, dan Eropa melalui pameran kuliner dan misi dagang. Di Jepang, perjanjian Indonesia–Japan EPA telah menghapus bea masuk lada, memperkuat penetrasi pasar.

Saat ini, Jepang menyerap sekitar 8 persen ekspor lada Indonesia, sementara negara-negara Uni Eropa seperti Jerman dan Belanda masih menyumbang 1–5 persen. Melalui peningkatan mutu, intelijen pasar, dan penguatan kerja sama dagang, ekspor lada Indonesia ke pasar utama dunia diharapkan terus tumbuh secara berkelanjutan.

Prev Next

- PSI Perkebunan


Pencarian

Berita Terbaru

  • Thumb
    Mengembalikan Kejayaan Gambir Indonesia
    15 Jun 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Potensi Kelapa Genjah dan Pemenuhan Santan
    14 Jun 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Nilai Ekonomi dan Potensi Ekspor Kopi Luwak Indonesia
    13 Jun 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    BPDP Mulai Susun Kajian Potensi dan Proyeksi Harga Kelapa Nasional
    12 Jun 2025 - By PSI Perkebunan

tags

BRMP Perkebunan Lada

Kontak

(0251) 8313083; WA: 085282566991
(0251) 8336194
[email protected]

Jl. Tentara Pelajar No. 1
Bogor 16111 - Jawa Barat
Indonesia
16111

website: https://perkebunan.brmp.pertanian.go.id/

© 2025 - 2025 Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan. All Right Reserved