
Memintal Masa Depan Serat Kapuk Randu
Repost - republika.id
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
Matahari sore menembus celah dedaunan pohon kapuk randu di tepi sawah yang mengering. Gumpalan serat putih kapuk beterbangan tertiup angin, jatuh menyelimuti tanah bak hujan salju.
Pemandangan ini membangkitkan nostalgia anak-anak kampung di Jawa. Dulu, setiap musim panen kapuk randu, desa-desa sibuk menjemur gelondong kapuk, dan seratnya yang ringan bagaikan kapas dikumpulkan sebagai bahan pengisi bantal dan kasur.
Sayangnya, kini kian jarang generasi muda yang mengenal kapuk randu (Ceiba pentandra) sebagai komoditas berharga. Padahal, di balik kesunyian pohon kapuk randu yang kini terabaikan, tersimpan jejak kejayaan masa lalu dan segudang potensi masa depan untuk dipintal kembali.
Sejak tahun 1910, para pemulia kapuk dari Belanda dan pribumi telah bekerja sama menanam dan merawat koleksi plasma nutfah kapuk di Kebun Percobaan Balittas Muktiharjo, yang kini di bawah koordinasi Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Perkebunan, Kementan, berlokasi di Desa Muktiharjo, Margorejo, Pati, Jawa Tengah.
Kebun ini merupakan salah satu aset penting untuk konservasi plasma nutfah pohon kapuk, dengan tujuan melestarikan serta memanfaatkan potensi tanaman kapuk di Nusantara. Upaya konservasi ini mencerminkan komitmen dalam mempertahankan keragaman genetik kapuk, yang merupakan aset berharga bagi pengembangan varietas unggul di masa depan.
Kegiatan pengkajian dan pemanfaatan randu terus dilakukan oleh Balittas melalui program pemuliaan yang mengawinkan randu jawa tipe Indica, yang merupakan kapuk lokal, dengan randu tipe Caribaea yang berasal dari wilayah Amerika Tengah dan Karibia dan dikenal memiliki produksi serat lebih banyak dan jumlah biji lebih sedikit.
Melalui persilangan ini, dihasilkan berbagai klon harapan kapuk, seperti MH 1 (Muktiharjo1), MH2, MH3 dan MH 4, yang menunjukkan potensi hasil gelondong tinggi dan cocok ditanam bersama tanaman sela seperti ubi kayu dan jagung. Upaya pemuliaan ini bertujuan menggabungkan keunggulan masingmasing tipe kapuk, sehingga menghasilkan varietas unggul yang adaptif dan produktif untuk mendukung industri kapuk.
Jejak Kejayaan yang Terlupakan
Kapuk randu pernah berjaya mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Sebelum Perang Dunia I, Indonesia tercatat sebagai penghasil kapuk terbesar di dunia dengan menguasai 80 persen produksi global, dengan Pulau Jawa menyumbang 60 persen di antaranya.
Serat kapuk Nusantara diincar pabrik tekstil Eropa dan Amerika sebagai bahan pengisi pakaian hangat, kasur, bahkan pelampung penyelamat karena sifatnya yang ringan dan tahan air. Di dalam negeri, kapuk randu menjadi tumpuan ekonomi perdesaan. Kabupaten Pasuruan di Jawa Timur, misalnya, menjadikan kapuk randu sebagai lambang daerah.
Produksi kapuk Pasuruan pernah mencapai 25 ribu ton per tahun, menyumbang hampir 30 persen produksi se-Jawa Timur. Selama puluhan tahun, pohon kapuk ditanam turun-temurun. Keberadaannya menyatu dengan budaya agraris lokal. Tak hanya sebagai komoditas dagang, kapuk meresap dalam kehidupan seharihari masyarakat.
Bukan sebatas kasur kapuk dan bantal guling, bahkan tradisi tekstil Nusantara pun mencatat kehadiran kapuk: dalam pembuatan kain tenun gringsing di Bali, serat kapuk khusus dari Nusa Penida dipintal manual menjadi benang, kemudian direndam minyak kemiri berbulan-bulan demi memperkuat serat sebelum ditenun Memasuki era modern, kemilau kapuk randu meredup digerus perubahan zaman.
Munculnya serat sintetis murah dan busa menggeser peran kapuk secara drastis. Serat sintetis polyester untuk isi bantal dan kursi semakin diminati, membuat permintaan kapuk terjun bebas. Pohon-pohon kapuk randu dibiarkan tua tanpa peremajaan, bahkan ditebang untuk beralih ke tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan.
Dampak kemundurannya begitu terasa. Luas perkebunan kapuk di Indonesia menyusut tajam. Pada 2013, tercatat hanya sekitar 157 ribu hektare kapuk yang dikelola, dengan produksi 61 ribu ton serat per tahun, jauh di bawah masa kejayaannya. Infrastruktur pengolahan kapuk banyak yang gulung tikar.
Jika tren ini dibiarkan, bukan mustahil kapuk randu menghadapi kepunahan sebagai komoditas. Padahal, pohon kapuk sebenarnya memiliki peran ekologis penting, akarnya kokoh mencegah erosi di lahan kering, rindangnya membantu konservasi air, dan mampu tumbuh di tanah tandus tanpa banyak perawatan.
Memintal asa Baru Kapuk Randu
Dalam industri tekstil ramah lingkungan, serat kapuk memiliki karakteristik unik yang menarik perhatian industri fesyen berkelanjutan. Serat ini sangat ringan, berongga, dan lembut, menjadikannya bahan insulasi termal yang baik sekaligus sejuk dipakai di iklim panas.
Selain itu, serat kapuk secara alami tahan air hingga tingkat tertentu dan hipoalergenik. Yang terpenting, kapuk adalah serat alam yang 100 persen biodegradable dan diperoleh dari pohon yang tumbuh tanpa perlu pupuk atau pestisida intensif.
Keunggulan ini membuat kapuk lebih ramah lingkungan dibanding kapas, karena budidayanya tidak menyedot air berlebihan dan justru membantu keanekaragaman hayati hutan tropis. Saat ini, desainer dan produsen tekstil dunia mulai bereksperimen memintal kapuk menjadi kain atau mencampurnya dengan katun dan serat alami lain untuk produk fashion berlabel berkelanjutan.
Meskipun memintal benang kapuk tidak mudah karena seratnya pendek dan licin, inovasi teknologi mampu mengatasinya. Indonesia, sebagai sumber utama kapuk, semestinya berada di garda depan inovasi tekstil hijau ini, bukan hanya mengekspor kapuk mentah lalu mengimpor produk jadinya. Di sektor pulp dan kertas, kapuk randu juga menunjukkan potensi signifikan.
Kandungan selulosa yang tinggi pada serat kapuk memungkinkan pemanfaatannya sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan kertas dan produk turunannya. Penelitian telah menunjukkan bahwa serat kapuk dapat diolah menjadi pulp yang cocok untuk kertas cetak, tisu, hingga kain rayon.
Selain itu, pohon kapuk yang cepat tumbuh dan dapat dipanen seratnya tanpa perlu ditebang sejalan dengan prinsip industri hijau yang berkelanjutan. Lebih lanjut, biji kapuk randu mengandung minyak nabati dengan kadar yang signifikan, menjadikannya sumber potensial untuk produksi biodiesel.
Penelitian menunjukkan bahwa minyak biji kapuk dapat dikonversi menjadi biodiesel berkualitas melalui proses transesterifikasi. Keunggulannya, pohon kapuk berbuah beberapa kali dalam setahun dan mampu tumbuh di lahan marginal, sehingga tidak mengganggu lahan pangan.
Bungkil atau ampas biji kapuk yang kaya protein dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, menambah nilai ekonomis dari tanaman ini. Daun muda randu sering digunakan sebagai pakan ternak tambahan, terutama di musim kemarau ketika ketersediaan pakan hijauan berkurang.
Kandungan protein dan serat yang tinggi pada daun kapuk menjadikannya sumber pakan yang bergizi bagi hewan ternak. Ekstrak daun kapuk randu telah menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri penyebab utama karies gigi, menandakan potensi penggunaannya dalam pengobatan tradisional. Kandungan senyawa seperti flavonoid dalam daun ini juga berpotensi dalam mendukung kesehatan manusia.
Revitalisasi Randu dan Tanggung Jawab Bersama
Untuk mengoptimalkan potensi kapuk randu di Indonesia, diperlukan strategi komprehensif yang mencakup pelestarian sumber daya genetik, peningkatan riset dan inovasi, serta pemberian insentif bagi petani dan pelaku industri. Langkah awal yang krusial adalah pelestarian sumber daya genetik kapuk randu.
Varietas lokal seperti tipe Indica memiliki produktivitas rendah, sekitar 20 kg serat per pohon per tahun, sementara varietas Caribaea mampu menghasilkan hingga 80 kg serat per pohon per tahun dan lebih tahan terhadap hama benalu. Balittas telah mengembangkan klon hibrida yang lebih produktif dan tahan kekeringan, seperti seri MH dari Muktiharjo.
Namun, adopsi varietas unggul ini masih minim. Pemerintah perlu melakukan inventarisasi plasma nutfah kapuk, membangun bank benih, dan meremajakan kebun kapuk dengan bibit unggul untuk memastikan ketersediaan bahan dasar pengembangan kapuk di masa depan.
Kolaborasi antara lembaga riset, perguruan tinggi, dan industri dalam menjadikan kapuk randu sebagai fokus kajian multidisiplin akan memberikan landasan ilmiah bagi pengembangan usaha dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap manfaat kapuk.
Terakhir, pemberian insentif dan dukungan nyata bagi petani serta pelaku industri dan bisnis kapuk sangat penting. Selama ini, petani kapuk menghadapi rantai pemasaran yang panjang dengan margin keuntungan yang tipis, sehingga kurang termotivasi untuk menanam kapuk. Membangun kembali mata rantai pengolahan kapuk di perdesaan melalui fasilitas unit pengolahan skala kecil dan menjalin kemitraan antara BUMN atau swasta dengan koperasi petani dapat menciptakan ekosistem hilirisasi kapuk randu yang berkelanjutan, sehingga nilai tambah dapat dinikmati oleh petani dan pengusaha lokal.