
Menenun Tekstil Hijau dari Serat Randu
Repost - antaranews.com
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
Jakarta (ANTARA) - Industri tekstil dan fesyen global saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, sektor ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dunia. Namun, di sisi lain, industri ini turut menyumbang sekitar 10 persen emisi karbon global dan mengonsumsi sekitar 93 miliar meter kubik air setiap tahun.
Bahan baku konvensional seperti kapas dan poliester mulai dipertanyakan karena jejak ekologisnya yang tinggi. Dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak, dunia memerlukan alternatif serat alami yang lebih berkelanjutan.
Di sinilah serat randu (kapuk), yang sempat terlupakan, kembali menawarkan secercah harapan. Pohon randu (Ceiba pentandra), yang dahulu menjadi kebanggaan tanah Jawa, menghasilkan serat kapuk yang ringan, tahan air, dan dapat terurai secara hayati (biodegradable).
Sayangnya, selama beberapa dekade, kapuk hanya dimanfaatkan sebagai bahan isian untuk kasur dan bantal, sehingga potensinya belum tergarap secara optimal.
Kini, berkat kemajuan teknologi, serat kapuk dapat diolah menjadi bahan tekstil ramah lingkungan yang menjanjikan.
Bagi Indonesia, ini merupakan peluang emas untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor kapas dan mengambil peran kepemimpinan dalam pasar global melalui produk-produk berkelanjutan yang berbasis pada sumber daya lokal.
Potensi Ekonomi
Indonesia pernah menjadi raja kapuk dunia. Pada 1930-an, Jawa memasok 85 persen kebutuhan kapuk global. Namun, sejak 2000-an, popularitas kapuk merosot akibat gempuran busa sintetis dan kapas transgenik.
Inovasi dan kebutuhan akan produk ramah lingkungan serta tren pasar tekstil hijau organik membalikkan keadaan dan membangkitkan kembali permintaan bahan kapuk alami. Sepanjang 2022, ekspor kapuk Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang saja mencapai 5 ribu ton (senilai Rp60 miliar), dengan India sebagai pembeli terbesar.
Yang menarik, kapuk tak lagi sekadar bahan kasur dan bantal. Industri elektronik memanfaatkannya sebagai isolator panas, sementara pasar tekstil hijau global membuka pintu lebar. Apalagi, kapuk dapat tumbuh di lahan kering marginal dan termasuk tanaman tahunan, yang sangat sesuai dengan 24 juta hektar lahan kering di Indonesia yang belum dimanfaatkan optimal.
Di sisi hilir, substitusi kapuk untuk kapas bisa mengurangi impor bahan baku tekstil Indonesia yang mencapai 900 ribu ton per tahun. Bayangkan jika 10 persen dari angka itu digantikan kapuk, devisa triliunan rupiah dapat dihemat, sambil menciptakan lapangan kerja dari hulu ke hilir.
Serat kapuk secara alamiah memiliki karakteristik yang pendek, licin, dan rapuh membuatnya sulit dipintal menjadi benang. Secara mikroskopis, permukaannya yang halus akibat lapisan lilin alami mengurangi daya lekat antar-serat. Kekuatan tariknya pun rendah, hanya sepertiga dari kapas.
Namun, melalui penelitian didapat bahwa perlakuan alkali dapat menghilangkan lignin dan lilin pada serat kapuk, meningkatkan kekasaran permukaan sehingga lebih mudah dipintal.
Solusi lain adalah pencampuran dengan serat lain. Sebuah perusahaan Kanada misalnya, menciptakan kaos dari campuran 30 persen kapuk dan 70 persen kapas organik. Kombinasi ini tidak hanya memperkuat benang, tetapi juga menghemat 3 ribu liter air untuk produksi empat kaos, sebuah terobosan di industri yang boros air.
Inovasi teknologi juga datang dari sebuah perusahaan rintisan yang mendirikan pabrik pengolahan kapuk di Indonesia. Dengan mesin pemintalan canggih, mereka menghasilkan benang berkualitas tinggi yang diekspor ke pasar global. Selain itu, teknik needle punching untuk membuat kain non-anyam (felt) mulai diadopsi, membuka peluang aplikasi baru seperti material insulasi atau alas kaki ramah lingkungan.
Kebangkitan Randu
Balai Perakitan Tanaman Pemanis dan Serat yang dulu bernama Balittas (Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) memiliki peran strategis dalam konservasi dan pengembangan plasma nutfah tanaman serat, termasuk randu.
Upaya Balittas meliputi rejuvinasi, konservasi lapang, dan konservasi in vitro untuk mencegah erosi genetik tanaman randu yang tak terhindarkan akibat faktor alam maupun aktivitas manusia. Selain itu, Balittas melakukan karakterisasi dan evaluasi terhadap koleksi plasma nutfah randu untuk mengidentifikasi potensi genetik yang dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman.
Kebun Percobaan (KP) Muktiharjo yang dikelola Balittas memegang peran penting dalam konservasi dan pengembangan plasma nutfah randu di Indonesia. Sebagai sentra plasma nutfah randu terbesar dan terlengkap di Asia Tenggara, KP Muktiharjo memiliki 157 aksesi randu yang dikumpulkan dari berbagai daerah. Koleksi ini menjadi sumber genetik berharga untuk program pemuliaan dan adaptasi randu terhadap berbagai kondisi lingkungan.
Balittas telah melepas beberapa varietas unggul kapuk hasil pemuliaan, seperti Muktiharjo 1 (MH1), Muktiharjo 2 (MH2), MH3, MH4 dan Togo B dari tipe Karibia yang sesuai untuk usaha tani monokultur pada tahun 2006. Varietas-varietas ini dikembangkan melalui seleksi klon-klon potensial yang menunjukkan produktivitas lebih tinggi dan adaptasi baik terhadap kondisi lokal.
Di tingkat komunitas, Desa Karaban di Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, merupakan contoh nyata revitalisasi industri kapuk. Desa ini dikenal sebagai pusat pengolahan kapuk terbesar di Indonesia, dengan sekitar 30 pengusaha skala besar dan 400 pengusaha skala kecil yang bergerak dalam produksi kasur, bantal, dan guling berbahan dasar kapuk. Produk-produk ini tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke luar Jawa, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Salah satu pengusaha di Desa Karaban, Kusno, mengungkapkan bahwa bahan baku kapuk sebagian besar didatangkan dari Jawa Timur dan luar Jawa, dengan harga mencapai Rp18.500 per kilogram. Meskipun menghadapi tantangan dalam pemasaran akibat fluktuasi pasar, produksi kapuk tetap berjalan. Pengusaha lain, Turi, menambahkan bahwa produk olahan kapuk seperti kasur dan bantal memiliki permintaan stabil, terutama dari luar Jawa.
Namun, industri kapuk di Desa Karaban menghadapi tantangan serius terkait ketersediaan bahan baku. Dari 700 ribu pohon kapuk randu di Pati, 30 persen telah ditebang untuk berbagai alasan, termasuk pengembangan infrastruktur dan pemanfaatan kayu. Jika tren ini berlanjut, dalam lima tahun ke depan industri kapuk di desa tersebut terancam punah, mengingat sekitar 5.000 tenaga kerja produktif bergantung pada sektor ini.
Dengan dukungan riset yang berkelanjutan, pengembangan varietas unggul, serta sinergi antara pemerintah, institusi penelitian, dan pelaku industri, kapuk randu memiliki potensi besar untuk kembali menjadi komoditas unggulan Indonesia.
Langkah-langkah strategis ini diharapkan mampu membangkitkan kembali kejayaan kapuk, memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, dan mendukung tumbuhnya industri tekstil hijau yang berkelanjutan.
Implementasi hasil-hasil penelitian di lapangan secara tepat dan terarah menjadi kunci dalam mempercepat transformasi kapuk randu dari bahan tradisional menjadi bahan baku tekstil masa depan. Indonesia memiliki peluang besar untuk menenun kembali harapan industri tekstil hijau melalui pemanfaatan serat randu yang ramah lingkungan dan berbasis kearifan lokal.