
Indikasi Geografis Untuk Melestarikan Warisan Jamu Nusantara
Repost - tirto.id
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
Bulan Mei ini, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Jamu Nasional, sebuah momentum penting untuk merayakan sekaligus mengapresiasi warisan budaya jamu sebagai bentuk pengobatan tradisional yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Sejak Desember 2023, jamu telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia ke-13. Pengakuan internasional ini menegaskan bahwa jamu bukan sekadar tradisi leluhur, tetapi juga kekayaan bangsa yang patut dilestarikan dan terus dikembangkan secara berkelanjutan.
Namun demikian, pengakuan budaya semata belum cukup untuk melindungi jamu dari ancaman pemalsuan dan komersialisasi yang merugikan identitas lokal. Di sinilah peran Indikasi Geografis (IG) menjadi krusial.
IG merupakan mekanisme perlindungan hukum yang mengaitkan produk tertentu dengan wilayah geografis asalnya, mencakup pengaruh lingkungan dan warisan budaya masyarakat setempat. Dalam konteks jamu, IG berfungsi sebagai pengikat antara nama dan karakteristik ramuan dengan daerah asalnya, menjamin keaslian sekaligus melindungi nilai budaya yang melekat padanya dari penyalahgunaan.
Pada forum bersama Uni Eropa, Oktober 2024, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menegaskan bahwa IG bukan sekadar label, melainkan jaminan mutu, pelestari identitas budaya, sekaligus instrumen promosi ekonomi daerah. Komisioner Pangan Uni Eropa, Janusz Wojciechowski, juga menyampaikan bahwa IG mencerminkan kualitas, keamanan, dan reputasi suatu produk.
Beberapa produk Indonesia, seperti Garam Amed dari Karangasem dan Kopi Gayo, telah memperoleh pengakuan IG dari Uni Eropa, yang menunjukkan bahwa nilai lokal mampu berbicara di panggung global, termasuk untuk jamu di masa depan.
Relevansi Pelestarian Budaya dan Ekonomi Jamu
Dengan IG, produk jamu dapat lebih mudah dipromosikan dan dipasarkan. Pembeda geografis yang tercantum pada label dapat memberi nilai tambah, sehingga konsumen tahu jamu tersebut asli dari sumbernya.
Idris, Kepala Tim Penjaminan Mutu IG DJKI, menyebut kopi Arabika Bantaeng dan kakao Ransiki sebagai contoh produk lokal yang mendapat nilai tambah melalui IG. Walau produk berbeda, prinsipnya sama, yaitu jamu khas yang ter-IG akan mempertahankan reputasi sejak bahan mentah hingga jadi produk jadi.
Sebelum IG, komunitas petani hanya beranggotakan 40 kelompok dengan 1.750 petani, kemudian setelah IG tercatat, kelompok tumbuh menjadi 60 dengan 2.640 petani. Produk lada putih Muntok di Bangka Belitung bahkan bisa dipasarkan 2 kali lebih mahal pasca-IG. Dengan IG, petani dan peramu jamu juga terjaga dari praktik penyalahgunaan nama daerah.
“Dengan adanya IG, oknum dari daerah lain tidak bisa seenaknya membuat produk dan melabelinya khas suatu daerah,” ujar Eripson Sinaga, Asisten Deputi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.
Manfaat sosial IG juga nyata. Pembentukan asosiasi petani jamu sebagai basis IG akan memperkuat jejaring lokal. Eripson menegaskan bahwa pendaftaran IG dilakukan oleh asosiasi yang mencakup rantai produksi hingga distribusi, bekerja sama dengan pemerintah daerah. Dengan begitu, koordinasi di antara petani jahe, kunyit atau temulawak di suatu wilayah menjadi lebih solid.
Hasilnya, jamu tradisional tidak hanya dilestarikan secara budaya, tetapi juga menopang ekonomi pedesaan. Kadin misalnya mencatat industri jamu nasional mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja dan menurunkan angka kemiskinan. Indikasi Geografis akan menggarisbawahi nilai ekonomi ini, dan IG tak hanya menjaga cita rasa, tapi juga mendorong pariwisata lokal, dan memberi “panggung” global bagi jamu nusantara.
Tantangan IG Jamu
Di balik potensi besar, pendaftaran IG tanaman rempah dan jamu menghadapi kendala. Idris dari DJKI menyebut tantangan utama adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap manfaat IG, risiko pemalsuan sepanjang rantai pasok, serta terbatasnya akses pasar dan modal produsen. Banyak petani dan peramu jamu belum familiar dengan proses IG, bahwa mereka harus membentuk badan komunal, menyusun deskripsi khas produk, dan mengumpulkan bukti sejarah budidaya lokal.
Proses administrasi dan biaya terkait bisa menjadi hambatan di pedesaan. Tantangan lain, masih sulitnya mendefinisikan satu produk jamu secara tepat untuk dipatenkan IG; jamu kerap berupa campuran bahan, bukan produk tunggal. Belum lagi, setelah IG terbit, diperlukan pengawasan ketat untuk menjaga kualitas. Idris menekankan bahwa “keberlanjutan IG sangat bergantung pada pengawasan yang ketat juga kolaborasi dari semua pihak."
Pemerintah sadar perlunya edukasi. Kementerian Pertanian, DJKI dan Kemenperin gencar mensosialisasikan IG ke komunitas UMKM, menggelar seminar dan pelatihan. Idris menyoroti pentingnya dukungan kepala daerah dan penguatan lembaga pengawas lokal. GP Jamu sebagai asosiasi petani jamu nasional pun mendorong anggotanya untuk mempertimbangkan IG.
Menurut laporan GP Jamu, label IG adalah salah satu solusi untuk mem-branding jamu daerah dan meningkatkan harga jual. Meski belum banyak contoh spesifik, dorongan ini menunjukkan kesungguhan menangani tantangan birokrasi dan koordinasi.
Gerai jamu tradisional semakin menampilkan ciri khas daerah sebagai nilai jual. Misalnya, di banyak sentra jamu lokal, produk dijual berdampingan dengan papan nama mencantumkan bahan baku dan asalnya. BPOM pun menyarankan penggunaan label IG pada kemasan jamu, karena “label ini bisa menaikkan posisi tawar sebuah produk tak hanya di pasar lokal, namun juga pasar internasional.
Potensi IG Jamu di Nusantara
Beberapa komoditas rempah nusantara sudah lebih dulu memiliki IG, menandakan peluang bagi bahan jamu. Di dalam negeri tercatat ratusan produk IG seperti lada putih Muntok, cengkeh Minahasa, pala Kepulauan Banda, dan kayu manis Koerintji. Bahan-bahan itu sering kali masuk dalam ramuan jamu lokal. Di sisi bahan obat, ada pula IG untuk tanaman khas. Aloe vera Pontianak (Kalimantan Barat) misalnya diakui DJKI sebagai contoh tumbuhan obat ber-IG. Begitu pula tanaman obat Dieng, Purwaceng (Cimicifuga racemosa), telah terdaftar IG sejak 2011. Meskipun bukan jamu siap minum, legalitas tanaman obat ini memberi perlindungan komunal atas khasiat leluhur.
Di tingkat daerah, sejumlah inisiatif sudah berlangsung. Kabupaten Temanggung, penghasil jahe kualitas tinggi, tengah mendorong kajian IG untuk jenis empritnya, meski belum teregistrasi. Temanggung sendiri sudah memiliki IG untuk bandeng asap, ikan uceng, dan tembakau lokal, ini gambaran bahwa pemerintah setempat terbuka pada pengakuan produk unggulan. Sementara di Kalimantan, jamu berbahan kunyit atau lengkuas khas daerah berpotensi diusulkan IG, mengingat keanekaragaman rempahnya.
Jika komunitas petani dan peramu menyatu, setiap wilayah sebenarnya bisa mengajukan IG untuk warisan jamu masing-masing. Langkah awalnya membentuk asosiasi komunal dan meminta rekomendasi dinas pertanian atau perindustrian daerah, selanjutnya difasilitasi pendaftaran ke pemerintah pusat.
Dengan sertifikat IG, resep turun-temurun jamu bukan hanya dilestarikan secara budaya, tapi juga diberi payung hak kekayaan intelektual yang meningkatkan nilai ekonominya. Seperti kata Idris, dengan meningkatnya kesadaran dan kerjasama semua pihak, “akan lebih banyak produk lokal yang dapat terlindungi, sehingga dapat meningkatkan daya saing di pasar global”