Hilirisasi Perkebunan Indonesia
Repost Kompas.com – Hilirisasi Perkebunan Indonesia
ASTA Cita (8 Misi) yang kedua dan kelima dalam program kerja pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, berupa pemantapan swasembada pangan dan melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri-negeri, wajib didukung. Program ini juga keberlanjutan dari program pemerintahan era Joko Widodo, seperti disampaikan dalam acara BNI Investor Daily Summit, Oktober 2024.
Jokowi meminta agar komoditas-komoditas perkebunan tidak terus diekspor dalam bentuk mentahan. “Yang berkaitan dengan pertanian, kelautan, pangan semuanya harus didorong agar nilai tambah itu terjadi. Kopi itu jangan diekspor mentahan raw material, kakao juga jangan diekspor raw material, lada jangan diekspor raw material, nilam jangan diekspor raw material,” tegasnya.
Pada sektor perkebunan, pendekatan hilirisasi dapat mendorong pengolahan hasil perkebunan dalam negeri, sehingga Indonesia dapat mengurangi ketergantungan impor produk olahan dan peningkatan daya saing di pasar global. Indonesia diharapkan bergerak dari ketergantungan pada ekspor komoditas mentah menuju struktur ekonomi yang lebih maju dan bernilai tambah tinggi.
Selanjutnya, ekonomi akan lebih beragam dan tangguh, dengan fokus pada penciptaan lapangan kerja, industri pengolah bahan mentah, serta ekspor.
Kontribusi Perkebunan
Sektor perkebunan memainkan peran sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Sensus Pertanian 2023 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah rumah tangga yang bergerak di sektor perkebunan mencapai 10,8 juta rumah tangga.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar pekebun adalah petani kecil yang mengelola lahan-lahan terbatas, khususnya dalam produksi komoditas seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao. Sektor ini juga masih menjadi salah satu sumber utama devisa nasional, memberikan pendapatan substansial melalui ekspor ke berbagai negara. Berdasarkan data BPS, Nilai ekspor pertanian Januari-Desember 2022 mencapai Rp 640,56 triliun dan perkebunan masih menjadi penyumbang terbesar ekspor dengan kontribusi sebesar Rp 622,37 triliun (97,16 persen). Di dalamnya, kelapa sawit berkontribusi terbesar dengan nilai ekspor sebesar Rp 468,64 triliun (75,30 persen), yang didominasi dari turunan sawit, yaitu Crude Palm Oil (CPO) sebesar 58 persen.
Sementara saat ini Indonesia mampu menghasilkan setidaknya 179 macam produk hilir kelapa sawit seperti makanan, kosmetik, pakaian, hingga biofuel. Hal ini menunjukkan peluang ekspor dan pendapatan ekonomi dari kelapa sawit masih bisa meningkat, terlebih industri sawit juga membuka peluang usaha bagi 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta pekerja. Selain sawit, produk kelapa juga dihargai tinggi di pasar dunia. Kopra memiliki nilai ekspor mencapai 309,4 juta dollar AS dengan pangsa pasar sebesar 25,5 persen.
Sementara kopra mentah nilai ekspornya mencapai 236,3 juta dollar AS dengan pangsa pasar 22,92 persen. Untuk kelapa parutan kering dengan nilai ekspor 178,8 juta dollar AS dan pangsa pasar 24,28 persen.
Gula kelapa memiliki nilai ekspor 79,1 juta dollar AS dengan pangsa pasar sebesar 3,99 persen. Sementara kelapa segar dalam batok memiliki nilai ekspor sebesar 58,7 juta dollar AS dengan pangsa pasar sebesar 29,8 persen.
Ada pula hasil karet Indonesia, di mana kebun karet Indonesia terluas kedua di dunia, mencapai 3,55 juta ha pada 2023 (BPS). Luasan tersebut memberikan kontribusi produksi sebesar 3,19 juta ton dan produktivitas 1,05 ton/ha. Ekspor karet turut meningkatkan pendapatan nasional, dengan pasar utama termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan China. Pada 2023, volume ekspor karet dan produk karet tercatat sebesar 0,21 juta ton dengan nilai 0,43 miliar dollar AS atau setara Rp 6,76 triliun.
Di dalam negeri, perkebunan karet Indonesia yang didominasi perkebunan rakyat (85 persen) berkontribusi menciptakan lapangan kerja bagi 2,5 juta keluarga tani. Komoditas perkebunan penyegar seperti kopi, kakao, dan teh memainkan peran penting dalam perekonomian nasional. Bahan penyegar dari Indonesia memiliki kualitas tinggi dan digandrungi oleh konsumen global. Indonesia dikenal dengan produksi kopi Arabika dan Robusta berkualitas tinggi, dengan varian Gayo, Java Preanger, Toraja, dan Mandailing yang dihargai tinggi di pasar global.
Indonesia memiliki permintaan yang kuat dari pasar Eropa, AS, dan Asia. Berdasarkan data BPS tahun 2023, total volume ekspor kopi mencapai 276.335 ton dengan nilai ekonomi 916,6 juta dollar AS. Perkebunan kopi di Indonesia didominasi perkebunan rakyat dengan luasan wilayah sekitar 1,24 juta hektare. Kakao pun mendongkrak perekonomian nasional, mengingat Indonesia adalah eksportir kakao terbesar di dunia.
Kakao Indonesia diekspor dalam bentuk biji mentah maupun produk olahan dengan tujuan utama ke AS, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya. Menurut BPS, nilai ekspornya pada tahun 2023 mencapai 1,2 miliar dollar AS dengan volume 340.190 ton dan luas lahan 1,41 juta hektare. Indonesia memiliki 100.500 ha perkebunan teh pada tahun 2022 (BPS, 2023). Komoditas teh masih memainkan peran penting dalam ranah ekspor perkebunan.
Pada 2022, Indonesia mampu mengekspor teh ke 62 negara, dengan tujuan utama ke pasar Malaysia (13,12 persen), Rusia (12,63 persen), dan Australia (10,32 persen).
Peluang dan tantangan
Meskipun perkebunan menjadi salah satu andalan pendapatan nasional, sektor ini menghadapi beberapa tantangan yang dapat menghambat pertumbuhan dan keberlanjutan jangka panjang. Mari kita ambil contoh kendala yang dihadapi industri kelapa. Kelapa dengan berbagai produk mentah hingga turunannya yang bernilai tinggi ternyata belum bisa terproduksi secara maksimal.
Hal ini terjadi karena berbagai kendala, seperti faktor teknologi, pemodalan, dan tata kelola. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), industri kelapa ditargetkan bernilai Rp 74,23 triliun, tapi realisasinya hanya mampu hingga Rp 20,38 triliun. Perkebunan di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan rakyat yang pengelolaan dan budidayanya konvensional.
Terdapat berbagi macam permasalahan seperti produktivitas menurun, serangan hama penyakit, perlunya peremajaan tanaman yang semakin tua, dan kekurangan benih unggul terstandar. Perlu kemitraan strategis yang melibatkan pemerintah dan swasta untuk mengatasi masalah ini.
Kolaborasi juga penting untuk pertukaran informasi dan teknologi, serta mendorong terciptanya produk perkebunan berkelanjutan sesuai standar internasional. Ke depannya, adopsi praktik perkebunan berkelanjutan, yang dibuktikan dengan sertifikasi oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), dan standar keberlanjutan lainnya, menawarkan jalan bagi Indonesia untuk mempertahankan akses ke pasar yang peduli lingkungan.
Dukungan kuat dari semua pihak utamanya pemerintah untuk hilirisasi perkebunan dan diversivikasi produknya, bersama dengan kebijakan yang mendorong penelitian dan pengembangan serta investasi di industri hilir, juga menjadi suatu keharusan.
Oleh Kuntoro Boga Andri – Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan, Kementan