
Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Pertanian Penjaga Ekosistem
Repost - kabarbaik.co
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) setiap 5 Juni bukan sekadar seremoni. Ia adalah momen reflektif sekaligus panggilan moral bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk menimbang ulang arah pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan. Dalam konteks ini, pertanian hijau harus ditempatkan sebagai strategi utama, bukan sekadar teori. Ia adalah kebutuhan riil untuk menjawab krisis lingkungan dan menjaga masa depan pangan nasional.
Indonesia memiliki posisi strategis sebagai negara tropis dengan kekayaan hayati tinggi dan hampir 70 persen wilayahnya berupa kawasan hutan. Namun, potensi ini akan menjadi beban jika tidak dikelola secara lestari. Sebaliknya, jika kita mampu mengintegrasikan praktik pertanian ramah lingkungan ke dalam sistem produksi pangan, maka pertanian bisa menjadi garda depan solusi iklim.
Komitmen Global dan Tanggung Jawab Nasional
Pemerintah Indonesia telah menyampaikan komitmen kuat dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC). Target pengurangan emisi sebesar 29% secara mandiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional pada 2030 menunjukkan keseriusan negara ini. Dari lima sektor prioritas, kehutanan dan pertanian menempati posisi strategis, baik dalam kontribusi maupun risiko.
Untuk memperkuat arah kebijakan ini, pemerintah meluncurkan strategi Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, dengan target ambisius: menjadikan sektor kehutanan dan penggunaan lahan sebagai penyerap karbon bersih hingga –140 juta ton CO₂ ekuivalen. Dalam dokumen NDC terbaru, sektor FOLU menyumbang hampir 60 persen dari total proyeksi penurunan emisi nasional. Ini menegaskan bahwa pengendalian deforestasi dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan merupakan fondasi dari mitigasi iklim di Indonesia.
Namun, strategi ini tidak bisa dijalankan dari atas ke bawah semata. Peran aktif pemerintah daerah, petani, pelaku usaha, dan masyarakat sipil mutlak dibutuhkan. Desentralisasi pengelolaan lingkungan menjadi ujian bagi konsistensi kebijakan nasional dengan realitas lapangan.
Praktik Baik di Lapangan
Sejumlah terobosan sudah berjalan. Program Perhutanan Sosial menjadi salah satu pilar penting, memberikan hak kelola hutan kepada masyarakat melalui lima skema yaitu hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Sebelum 2015, hanya sekitar 4 persen kawasan hutan yang dikelola langsung oleh masyarakat. Kini, akses tersebut ditargetkan meningkat hingga 30 persen.
Hingga akhir 2023, program ini telah menjangkau 6,3 juta hektare dengan lebih dari 9.600 surat keputusan izin. Di Jawa Barat, misalnya, petani menanam kopi dan sayuran dalam kawasan hutan yang dikelola bersama. Hasilnya bukan hanya peningkatan pendapatan rumah tangga, tetapi juga penguatan tutupan hijau serta kontribusi terhadap nilai ekonomi karbon nasional.
Praktik agroforestri juga berkembang pesat, terutama di wilayah Aceh. Pemerintah Kabupaten Pidie mengembangkan pola tanam tumpangsari padi gogo dengan tanaman bernilai ekonomi seperti kopi, cabai, dan buah-buahan. Pada 2025, ditargetkan lahan tumpangsari atau integrasi tanaman hutan dan perkebunan dengan tanaman pangan (padi gogo dan jagung) masuk dalam skema swasembada beras dan jagung nasional. Ini merupakan wujud konkrit dari kebijakan pemerintah memadukan antara komitmen global dengan kepentingan nasional untuk mendukung pertanian produktif tanpa mengorbankan ekosistem.
Diversifikasi tanaman juga menjamin stabilitas pendapatan petani, memperbaiki kualitas tanah, dan memperkuat ketahanan pangan di tengah ketidakpastian iklim. Kita menyaksikan bagaimana satu lahan bisa menjadi sumber pangan, pendapatan, sekaligus penyangga ekologi.
Peluang dan Tantangan pada Sektor Perkebunan
Di sektor perkebunan, terutama kelapa sawit, pendekatan berkelanjutan terus diperkuat. Sertifikasi seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) semakin diterima luas. Di Belitung Timur, premi sebesar Rp 442 juta disalurkan kepada petani mitra sebagai bagian dari profit sharing hasil sawit berkelanjutan. Insentif ini diberikan kepada petani yang menerapkan praktik tanam tanpa bakar dan pengelolaan lahan yang memenuhi standar lingkungan.
Di Sulawesi Barat, Koperasi KOIPES menjadi model sukses kemitraan petani dengan perusahaan pengolahan sawit. Mereka tidak hanya menjual buah segar, tetapi juga mengembangkan produk turunan bernilai tambah. Model seperti ini sejalan dengan amanat peraturan pemerintah tentang Kemitraan Perkebunan dan menjadi instrumen penting pemerataan manfaat industri sawit, terutama bagi petani kecil.
Sektor swasta dan lembaga keuangan pun turut berperan. CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan perkebunan kini menyasar rehabilitasi lahan kritis, pelatihan pertanian organik, dan dukungan hutan kemasyarakatan. Di sisi lain, perbankan nasional mulai mengadopsi prinsip pembiayaan hijau. Bank Negara Indonesia (BNI), misalnya, mencatat portofolio green financing sebesar Rp 73,4 triliun per 2024, termasuk untuk proyek energi terbarukan dan pengelolaan lahan berkelanjutan. Bahkan, skema sustainability-linked loan kini mensyaratkan target keberlanjutan dan kepatuhan terhadap taksonomi hijau, termasuk konservasi lahan gambut.
Namun kita tak boleh menutup mata. Banyak kebijakan bagus tak berjalan maksimal karena lemahnya implementasi. Masih sering terjadi penambangan ilegal, pembukaan lahan tanpa izin, serta konversi fungsi hutan yang melanggar aturan. Sanksi administratif atau pidana terhadap pelanggaran lingkungan seringkali tidak memberi efek jera. Bahkan, sejumlah kebijakan berhenti pada tataran wacana karena minimnya pengawasan dan koordinasi antarinstansi.
Di sisi lain, birokrasi yang berbelit juga kerap menjadi batu sandungan. Masyarakat menghadapi kesulitan dalam proses perizinan untuk mengakses program seperti perhutanan sosial atau kemitraan kehutanan. Persyaratan yang tumpang tindih dan konflik agraria menjadi penyebab lambatnya pencapaian target 12,7 juta hektare lahan perhutanan sosial.
Meski tantangan itu nyata, harapan tak pernah padam. Pertanian dan perkebunan justru memiliki potensi besar menjadi tulang punggung ekonomi hijau. Yang diperlukan adalah paradigma baru yaitu petani bukan hanya produsen pangan, tetapi juga penjaga ekosistem.
Rantai pasok komoditas strategis seperti kopi, kakao, karet, sawit, dan padi harus dirancang mendukung keberlanjutan. Praktik good agricultural practices, penerapan agroforestri, sertifikasi lingkungan, dan kemitraan inklusif adalah instrumen yang harus terus diperluas. Pemerintah perlu memperkuat insentif fiskal dan pembiayaan hijau agar transformasi ini tidak menjadi beban, tetapi justru membuka peluang.
Di tengah tekanan perubahan iklim, pertanian hijau bukan hanya penting untuk hari ini, tetapi esensial untuk masa depan. Kita membutuhkan pertanian yang produktif sekaligus adaptif, yang mampu bertahan di tengah krisis iklim dan memberi manfaat jangka panjang bagi generasi mendatang.
Jalan Menuju Masa Depan
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia harus menjadi penanda bahwa harmoni antara manusia dan alam adalah keharusan. Pertanian hijau membuktikan bahwa produktivitas dan pelestarian tidak saling meniadakan. Kini saatnya memperluas hutan kemasyarakatan, memperbaiki tata kelola lahan gambut, dan membangun ekosistem kolaboratif antara petani, pemerintah, swasta, dan sektor keuangan.
Indonesia memiliki potensi dan pengalaman. Tinggal bagaimana kita menyatukan langkah dan memastikan bahwa arah kebijakan diikuti dengan kerja nyata di lapangan. Dengan itu, pertanian hijau bukan sekadar wacana, tetapi jalan bersama menuju masa depan yang lebih lestari dan berkeadilan ekologis.