
Fluktuasi Kelapa Bulat: Menjaga Petani dan Hilirisasi Kelapa
Repost - kumparan.com
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
“Lonjakan harga kelapa bulat sepanjang 2024 dan 2025 membuat petani tersenyum lebar. Namun, agribisnis kelapa Indonesia kini diuji untuk menemukan keseimbangan baru antara meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga keberlanjutan industri.”

Sepanjang 2024 hingga awal 2025, harga kelapa bulat mengalami lonjakan tajam di berbagai sentra produksi dan membawa angin segar bagi petani. Di Riau, harga kelapa meningkat dari sekitar Rp 2.911 per kg pada 2023 menjadi Rp 8.000 per kg pada Maret 2025. Kenaikan serupa terjadi di Sulawesi Utara dan daerah lainnya, meskipun dengan disparitas antarwilayah akibat perbedaan akses pasar. Petani di daerah dengan saluran ekspor lebih baik cenderung menikmati harga lebih tinggi. Kenaikan harga ini menjadi momentum positif bagi petani yang selama ini tertekan oleh fluktuasi harga yang tidak menentu.
Secara agregat nasional, Indonesia masih surplus kelapa bulat. Namun distribusi yang tidak merata akibat ketimpangan infrastruktur logistik dan lokasi geografis menyebabkan kelangkaan lokal. Meski harga di tingkat petani meningkat, lonjakan harga di pasar konsumen jauh lebih besar. Di Jakarta, harga eceran kelapa mencapai Rp 13.769 hingga Rp 21.000 per kg pada April 2025, mencerminkan adanya margin besar dalam rantai distribusi. Hal ini menunjukkan rantai pasok yang panjang dan tidak efisien, menyebabkan ketimpangan keuntungan antara pelaku di hulu dan hilir. Meningkatnya ekspor, terutama ke Tiongkok, turut memperketat pasokan domestik, sehingga beberapa wilayah, seperti Kepulauan Riau, mengalami kelangkaan bahan baku dan melonjaknya harga produk turunan seperti santan.

Keadilan Harga dan Inovasi
Komoditas kelapa memiliki rantai nilai yang luas, mencakup beragam produk turunan yang tersebar dari hulu ke hilir industri. Kenaikan harga kelapa bulat sejak 2024 memengaruhi berbagai mata rantai olahan, mulai dari minyak kelapa, VCO, serabut, cocopeat, hingga arang tempurung. Industri pengolahan kelapa pun menunjukkan geliat yang positif, didorong oleh permintaan tinggi dari pasar domestik dan ekspor, meski tetap menghadapi tantangan utama berupa keterbatasan pasokan bahan baku dan fluktuasi harga.
Minyak kelapa atau minyak kopra menjadi produk utama dengan volume ekspor yang tetap stabil, meskipun margin industri tertekan akibat mahalnya bahan baku. Sementara itu, Virgin Coconut Oil (VCO) semakin diminati pasar internasional karena dianggap sebagai produk sehat dan organik. Dengan nilai tambah hingga 11 kali lipat dari kelapa mentah, VCO menjadi peluang emas bagi UMKM di sentra kelapa. Namun, tantangan pada mutu dan kapasitas produksi masih perlu diatasi dengan dukungan pemerintah melalui program sertifikasi dan pendampingan ekspor.
Produk sampingan lain seperti serabut kelapa dan cocopeat juga mulai menunjukkan potensi besar. Dulu sering terbuang, kini keduanya digunakan sebagai bahan cocofiber dan media tanam, seiring tren hortikultura organik. Nilai ekspor Indonesia untuk produk ini masih kecil dibandingkan negara lain seperti India, namun beberapa daerah seperti Pamekasan mulai berhasil menembus pasar ekspor. Demikian pula arang tempurung dan briketnya, yang menjadi komoditas ekspor unggulan Indonesia ke Timur Tengah dan Eropa. Tantangan utama sektor ini adalah konsistensi mutu dan suplai bahan baku yang berkelanjutan.
Di luar produk utama tersebut, masih banyak olahan kelapa yang bernilai tambah tinggi seperti kelapa parut kering, nata de coco, gula kelapa, hingga kerajinan tempurung. Pemerintah mendorong hilirisasi agar kelapa tidak diekspor mentah, melainkan dalam bentuk olahan. UMKM memegang peran krusial dalam rantai nilai ini, terbukti dari banyaknya unit kecil yang telah berhasil menembus pasar internasional. Dengan dukungan teknologi dan akses pasar, kolaborasi antara petani, UMKM, dan eksportir menjadi kunci untuk memperkuat daya saing industri kelapa nasional dan meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha di sektor ini.

Tantangan Industri ke Depan
Minyak kelapa atau kopra merupakan produk turunan utama yang secara historis menjadi andalan ekspor Indonesia. Meskipun volumenya cenderung stabil, margin industri menurun karena tingginya harga bahan baku. Di sisi lain, VCO muncul sebagai bintang baru dalam pasar global, khususnya karena statusnya sebagai produk kesehatan organik. VCO memiliki nilai tambah sangat tinggi dan menjadi peluang strategis bagi UMKM. Namun, kendala utama seperti ketidakkonsistenan mutu dan terbatasnya kapasitas produksi masih memerlukan intervensi kebijakan dan pelatihan dari pemerintah.
Produk sampingan kelapa yang dulu dianggap limbah kini memiliki potensi ekspor menjanjikan. Serabut kelapa diolah menjadi cocofiber, sementara debu sabut menjadi cocopeat, dua komoditas yang semakin dicari dalam industri hortikultura organik global. Sayangnya, nilai ekspor produk ini dari Indonesia masih tergolong kecil jika dibandingkan negara pesaing seperti India. Di sektor arang tempurung, Indonesia justru telah menjadi pengekspor utama briket untuk pasar Timur Tengah dan Eropa. Meski demikian, kontinuitas pasokan dan standar mutu produk masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan melalui kemitraan antara pelaku usaha kecil dan eksportir besar.

Selain produk utama, Indonesia juga memiliki sejumlah produk turunan kelapa bernilai tambah tinggi lainnya seperti kelapa parut kering, gula kelapa, nata de coco, dan kerajinan tempurung. Pemerintah mendorong hilirisasi industri ini agar komoditas kelapa tidak hanya diekspor dalam bentuk mentah, tetapi juga dalam bentuk olahan bernilai. Strategi ini diharapkan mampu menahan devisa di dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja baru, terutama di wilayah-wilayah sentra produksi kelapa yang selama ini terpinggirkan dalam rantai distribusi nasional.
Peran UMKM sangat sentral dalam menopang rantai nilai kelapa, mulai dari skala rumah tangga hingga ekspor langsung. Contohnya, kelompok tani di Lombok dan Lampung telah sukses mengekspor produk seperti VCO dan sabut kelapa. Kolaborasi antara petani, UMKM, dan pelaku ekspor menjadi fondasi penting untuk menciptakan ekosistem agribisnis kelapa yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan di tengah kompetisi pasar global yang semakin ketat.