• Jl. Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111
  • (0251) 8313083; WA: 085282566991
  • [email protected]
Logo Logo
  • Beranda
  • Profil
    • Overview
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Tugas & Fungsi
    • Pimpinan
    • Satuan Kerja
    • Sumber Daya Manusia
    • Logo Agrostandar
  • Informasi Publik
    • Portal PPID
    • Standar Layanan
      • Maklumat Layanan
      • Waktu dan Biaya Layanan
    • Prosedur Pelayanan
      • Prosedur Permohonan
      • Prosedur Pengajuan Keberatan dan Penyelesaian Sengketa
    • Regulasi
    • Agenda Kegiatan
    • Informasi Berkala
      • LHKPN
      • LHKASN
      • Rencana Strategis
      • DIPA
      • RKAKL/ POK
      • Laporan Kinerja
      • Capaian Kinerja
      • Laporan Keuangan
      • Laporan Realisasi Anggaran
      • Laporan Tahunan
      • Daftar Aset/BMN
    • Informasi Serta Merta
    • Informasi Setiap Saat
      • Daftar Informasi Publik
      • Standar Operasional Prosedur
      • Daftar Informasi Dikecualikan
      • Kerjasama
  • Publikasi
    • Buku
    • Pedum/ Juknis
    • Infografis
  • Reformasi Birokrasi
    • Manajemen Perubahan
    • Deregulasi Kebijakan
    • Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
    • Penataan dan Penguatan Organisasi
    • Penataan Tata Laksana
    • Penataan Sistem Manajemen SDM
    • Penguatan Akuntabilitas
    • Penguatan Pengawasan
  • Kontak

Berita BRMP Perkebunan

Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan

Thumb
10 dilihat       29 Mei 2025

Ekonomi Rakyat dan Pasar Global: Industri Kakao Indonesia

Repost - id.investing.com

Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan

Industri kakao dan cokelat Indonesia merupakan potret rumit sekaligus inspiratif dari perjalanan ekonomi rakyat yang berusaha tetap relevan dalam pasar global. Dengan akar sejarah sejak masa kolonial dan keterlibatan jutaan petani kecil di dalamnya, kakao bukan sekadar komoditas ekspor, tetapi juga denyut kehidupan pedesaan. Namun kini, di tengah stagnasi produksi dan persaingan global yang makin ketat, masa depan kakao Indonesia berada di persimpangan jalan.

Sejarah mencatat bahwa tanaman kakao pertama kali hadir di Nusantara pada 1560 melalui Minahasa, Sulawesi Utara. Belanda kemudian serius mengembangkan kakao sebagai komoditas alternatif sejak 1880, mendirikan sejumlah perkebunan besar. Namun, baru pada 1980-an, kakao menemukan momentumnya melalui gelombang inisiatif petani rakyat, terutama di Sulawesi. Dalam satu dekade, Indonesia melonjak menjadi produsen kakao ketiga dunia, membuktikan bahwa petani kecil bisa menjadi aktor utama ekspor bila didukung iklim dan harga yang kondusif.

Kejayaan ini mencapai puncaknya pada 2010 dengan produksi sekitar 844 ribu ton. Namun setelah itu, tren menurun perlahan mulai tampak. Produksi pada 2022 tercatat hanya 667 ribu ton. Di kancah global, posisi Indonesia kini melorot ke peringkat keenam atau ketujuh. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan: apakah kakao akan terus tergelincir dari perannya sebagai komoditas andalan nasional?

Meski begitu, sisi cerah tetap ada. Salah satunya melalui kebijakan hilirisasi yang diberlakukan sejak 2014. Dengan pengenaan bea keluar biji kakao, pemerintah berhasil mendorong tumbuhnya industri pengolahan dalam negeri. Hasilnya signifikan: Indonesia kini menjadi eksportir produk kakao olahan terbesar ketiga di dunia, dengan volume mencapai 327 ribu ton pada 2022 dan nilai ekspor menembus USD 1 miliar. Di tengah turunnya produksi biji, transformasi ini memperlihatkan bahwa nilai tambah bisa tetap tumbuh jika diarahkan pada industri pengolahan.

Kakao andalan ekonomi lokal dan nasional

Tantangan Regenerasi, Mutu, dan Daya Saing

Dari sisi domestik, kakao tetap memiliki bobot ekonomi yang besar. Lebih dari satu juta petani bergantung padanya. Sentra-sentra produksi seperti Sulawesi, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara menjadikan kakao sebagai sumber nafkah utama. Rantai agribisnis kakao pun menyokong lapangan kerja mulai dari hulu hingga hilir, dari pembibitan hingga industri cokelat kemasan. Singkatnya, kakao adalah komoditas “pahit-manis”: menghidupi, tapi penuh tantangan.

Pemerintah telah mencoba berbagai upaya, salah satunya Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao) yang dimulai pada 2009. Program senilai Rp3 triliun ini menyasar rehabilitasi dan peremajaan kebun rakyat. Meski tidak sepenuhnya mencapai target, Gernas menandai keseriusan negara untuk menyelamatkan sektor ini. Selain itu, lembaga penelitian seperti BRMP (dulu Badan Litbang Pertanian, Kementan)  dan Puslitkoka di Jember terus mengembangkan varietas unggul yang lebih produktif dan tahan hama. Teknik sambung pucuk dan fermentasi juga mulai diperkenalkan luas untuk meningkatkan mutu biji kakao.

Namun tantangannya tak ringan. Rata-rata pohon kakao rakyat telah tua dan produktivitas merosot drastis. Hama seperti penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit seperti Vascular Streak Dieback (VSD) masih menghantui sentra produksi. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan semangat dan bahkan beralih ke komoditas lain. Di sisi lain, petani muda enggan masuk ke sektor ini, menjadikan regenerasi sebagai isu krusial. Tanpa petani milenial yang menguasai teknologi dan pasar, kakao sulit berkembang di era industri 4.0.

Faktor lain yang menekan adalah rendahnya kualitas biji kakao nasional. Mayoritas petani menjual kakao non-fermentasi karena proses fermentasi dianggap merepotkan dan tidak menguntungkan secara ekonomi. Akibatnya, Indonesia sulit menembus pasar specialty yang mengutamakan cita rasa dan konsistensi mutu. Harga rendah, insentif rendah, dan lingkaran ketidakberdayaan pun terus berulang.

Dari aspek pasar global, Indonesia juga menghadapi tantangan baru: keberlanjutan. Regulasi ketat seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) menuntut jejak produksi yang bebas deforestasi. Tanpa sistem pelacakan rantai pasok yang kuat hingga ke petani kecil, Indonesia bisa tersingkir dari pasar Eropa yang bernilai tinggi. Kelemahan sistemik ini perlu segera ditambal dengan kolaborasi lintas sektor.

Hilirisasi, Cokelat Lokal, dan Peluang Global

Namun di balik segala kepahitan itu, ada peluang manis yang bisa dikejar. Pertama, hilirisasi harus terus diperkuat. Fakta bahwa utilisasi pabrik pengolahan belum optimal menunjukkan ruang pertumbuhan yang besar. Dengan mendorong peningkatan produksi biji lokal dan efisiensi industri, Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam perdagangan produk olahan kakao dunia.

Kedua, munculnya merek cokelat lokal dari berbagai daerah memberi harapan baru. Produk seperti Monggo, Pipiltin, atau Krakakoa mulai dikenal di pasar domestik dan mancanegara. Mereka mengangkat biji kakao lokal fermentasi dan menekankan keunikan rasa tiap daerah. Inilah potensi besar: mengembangkan produk cokelat berbasis single origin sebagai kekuatan branding Indonesia di pasar premium.

Ketiga, pengembangan pasar specialty dan direct trade patut didorong. Jika petani diberi pelatihan dan insentif fermentasi, lalu dihubungkan langsung ke pembeli internasional, mereka bisa memperoleh harga jauh lebih tinggi. Pendekatan ini sudah mulai diadopsi di Sulawesi dan Bali. Kombinasi fermentasi, pelacakan asal, dan narasi sosial bisa menjadi pembeda di pasar global yang kian sadar etika.

Keempat, melibatkan generasi muda melalui program seperti YESS menjadi kunci masa depan. Anak muda yang akrab dengan digitalisasi, pemasaran daring, dan inovasi produk dapat membawa nafas baru ke sektor kakao. Dengan dukungan pelatihan dan akses pembiayaan, mereka bisa menjadikan kakao sebagai wirausaha yang menjanjikan, bukan sekadar warisan turun-temurun.

Indonesia masih punya peluang besar untuk membalik tren penurunan produksi kakao. Namun peluang ini hanya bisa dimanfaatkan jika ada keberpihakan nyata kepada petani, riset yang berujung pada penerapan lapangan, dan sinergi antar pemangku kepentingan. Kakao bukan sekadar bahan baku cokelat. Ia adalah cerminan wajah ekonomi rakyat, yang jika diberi dukungan memadai, bisa menjadi pilar kekuatan bangsa di pasar global.

Kini saatnya pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat bersatu dalam satu gerakan: menyelamatkan dan memajukan kakao Indonesia. Agar komoditas ini bukan sekadar kenangan masa lalu, tetapi tonggak kejayaan agrikultur berkelanjutan yang berpijak pada petani kecil, namun berpandangan global.

Prev Next

- PSI Perkebunan


Pencarian

Berita Terbaru

  • Thumb
    BRMP Perkebunan Selenggarakan Bimtek untuk Tingkatkan Kapasitas Penyuluh Pertanian Samarinda
    28 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Kunjungan BRMP Perkebunan ke Simalungun Dorong Percepatan Tanam Padi Gogo
    28 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Indikasi Geografis Untuk Melestarikan Warisan Jamu Nusantara
    27 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Jamu Nusantara: Simbol Budaya dan Penggerak Ekonomi Nasional
    27 Mei 2025 - By PSI Perkebunan

tags

BRMP Perkebunan Kakao

Kontak

(0251) 8313083; WA: 085282566991
(0251) 8336194
[email protected]

Jl. Tentara Pelajar No. 1
Bogor 16111 - Jawa Barat
Indonesia
16111

website: https://perkebunan.bsip.pertanian.go.id/

© 2025 - 2025 Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan. All Right Reserved