
Potensi Terlupakan Sumber Daya Pangan Bergizi Perkebunan
Repost - kompas.com
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
SETIAP kali berbicara soal pangan bergizi, benak publik seringkali hanya tertuju pada beras, kedelai, daging, telur, dan susu. Padahal, komoditas perkebunan Indonesia menyimpan potensi luar biasa sebagai penyedia pangan bergizi yang tak kalah penting, mulai dari sagu, kelapa, kakao, teh, kopi, kelor, hingga rempah-rempah seperti pala dan cengkeh yang kaya antioksidan.
Sayangnya, sumber daya ini kerap dilihat hanya sebagai komoditas komersial ekspor atau bahan industri, jarang dibahas sebagai elemen kunci dalam ketahanan dan keberagaman pangan nasional. Di tengah tingginya prevalensi stunting dan kekurangan gizi di berbagai daerah, sudah saatnya kita memandang potensi perkebunan bukan hanya sebagai penghasil devisa, tetapi juga sebagai sumber pangan substitusi yang bergizi dan berkelanjutan.
Ini penting, bukan saja untuk membangun ketahanan pangan, tetapi juga untuk menciptakan sistem pangan yang inklusif dan berdaya saing, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Kaya Gizi, Minim Afirmasi
Laporan Kementerian Kesehatan (2022) menunjukkan bahwa 21,6 persen anak Indonesia mengalami stunting, dan 17 persen lainnya kekurangan berat badan. Di sisi lain, Indonesia adalah penghasil kelapa terbesar dunia (FAO, 2022), dengan produksi mencapai 2,8 juta ton per tahun.
Daging kelapa dan minyak kelapa murni mengandung asam lemak rantai sedang (MCT) yang baik untuk metabolisme dan kesehatan otak. Namun, konsumsi kelapa dalam negeri untuk kebutuhan pangan masih minim, kalah oleh penggunaan industri dan ekspor bahan mentah.
Begitu pula dengan kakao. Biji kakao kaya akan magnesium, zat besi, dan antioksidan flavonoid yang baik untuk kesehatan jantung. Namun, menurut Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), 85 persen kakao Indonesia diekspor dalam bentuk biji mentah, dengan nilai tambah yang sangat rendah.
Produk-produk kakao olahan lokal seperti cokelat sehat, bubuk minuman, atau makanan tinggi flavonoid belum banyak dikembangkan dan diakses secara luas oleh masyarakat sebagai sumber pangan bergizi. Tanaman kelor (Moringa oleifera), yang tumbuh subur di Nusa Tenggara dan Sulawesi, juga menjadi contoh tragis dari potensi yang diabaikan. Daun kelor mengandung vitamin A, C, kalsium, dan protein tinggi.
UNICEF menyebutnya sebagai “superfood lokal” yang efektif mencegah malnutrisi. Namun, distribusi dan pengolahan kelor dalam bentuk praktis seperti tepung, kapsul, atau campuran makanan bayi masih sangat terbatas di pasar domestik.
Menyediakan Karbohidrat, Protein, Mineral, dan Vitamin
Tidak banyak yang menyadari bahwa tanaman perkebunan sebenarnya mampu menyumbang kebutuhan gizi manusia secara lengkap, mulai dari karbohidrat, protein, hingga vitamin dan mineral. Sebagai contoh, sumber karbohidrat dapat diperoleh dari tanaman sagu, yang di banyak daerah seperti Papua dan Maluku, ditanam secara tumpang sari dalam kawasan agroforestri perkebunan.
Selain itu, gula aren dan gula kelapa juga merupakan produk turunan yang kaya energi, dan jika diolah secara sehat, dapat menjadi alternatif pemanis alami bagi penderita diabetes. Untuk sumber protein nabati, daun kelor adalah yang paling menonjol—mengandung hingga 27 gram protein per 100 gram daun kering.
Biji jarak pagar dan biji kemiri sunan, walau tidak dikonsumsi secara langsung, berpotensi sebagai sumber asam amino esensial jika dimanfaatkan secara teknologi lanjutan. Selain itu, beberapa tanaman rempah seperti kapulaga dan jintan hitam juga mengandung protein nabati dan senyawa bioaktif yang mendukung kesehatan imun.
Sementara itu, mineral dan vitamin sangat banyak terdapat dalam tanaman rempah dan herbal seperti pala, cengkeh, jahe, kunyit, dan temulawak. Rempah-rempah ini bukan hanya kaya kalsium, magnesium, dan zat besi, tetapi juga memiliki kandungan fitonutrien dan antioksidan tinggi yang membantu meningkatkan metabolisme tubuh dan memperbaiki fungsi hormon.
Senyawa seperti gingerol pada jahe dan kurkumin pada kunyit dikenal sebagai agen anti-inflamasi alami yang kini banyak dipakai dalam terapi komplementer modern. Dengan potensi seperti itu, sektor perkebunan bukan hanya bisa membantu memenuhi kecukupan kalori, tetapi juga menjadi penyumbang penting dalam pencapaian gizi seimbang yang dibutuhkan oleh setiap lapisan masyarakat.
Transformasi Paradigma dan Inovasi
Masalah utama bukan pada ketersediaan, melainkan pada paradigma. Kementerian Pertanian telah lama mencanangkan diversifikasi pangan lokal, tetapi belum sepenuhnya menyentuh potensi komoditas perkebunan. Bahkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, integrasi antara subsektor perkebunan dan gizi masyarakat masih bersifat implisit.
Padahal, diversifikasi pangan yang berbasis pada kekayaan lokal seperti kelapa, kelor, kakao, pala, dan rempah-rempah dapat memperkuat ketahanan pangan dan gizi, sekaligus membuka peluang hilirisasi produk berbasis kesehatan. Dengan pengolahan sederhana, masyarakat bisa menghasilkan susu kelapa, teh daun kelor, cokelat sehat, hingga kapsul herbal, semuanya bernilai gizi dan ekonomi tinggi.
Beberapa daerah sebenarnya telah memulai inisiatif yang patut diapresiasi. Di Kabupaten Ende, NTT, puskesmas memanfaatkan bubuk kelor sebagai campuran makanan tambahan balita stunting. Di Sulawesi Tengah, UMKM memproduksi olahan cokelat dan kelapa dalam bentuk pangan lokal sehat. Namun, inisiatif ini masih bersifat sporadis dan belum terintegrasi dalam kebijakan besar pangan dan gizi.
Negara perlu hadir melalui kebijakan yang berpihak: mulai dari insentif bagi petani dan pelaku UMKM yang memproduksi olahan pangan perkebunan, penyuluhan gizi berbasis komoditas lokal, hingga program pengadaan makanan tambahan berbahan kelor, kelapa, dan kakao di institusi pendidikan dan kesehatan.
Lembaga seperti BRMP (dulu Badan Litbang Pertanian) dan perguruan tinggi juga dapat memainkan peran penting dalam mengembangkan dan menyebarkan produk pangan fungsional dari komoditas perkebunan. Kolaborasi antara institusi pertanian, lembaga riset, industri dan kampus perlu diarahkan pada hilirisasi produk yang mudah dikonsumsi masyarakat, terutama oleh kelompok rawan gizi.
Ke depan, transformasi gizi dan pemenuhan pangan nasional tidak bisa hanya mengandalkan tanaman pangan tradisional saja. Indonesia perlu menata ulang visi besarnya, bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan kalori, tetapi juga kualitas gizi dan keragaman sumber pangan.
Perkebunan Indonesia menyimpan banyak potensinya. Komoditas seperti kelapa, kakao, kelor, pala, dan rempah bukan hanya menghasilkan devisa, tetapi juga dapat menjadi tulang punggung pangan bergizi rakyat Indonesia jika dikelola dengan bijak dan inklusif.
Dengan menempatkan perkebunan sebagai bagian integral dari strategi pangan dan gizi nasional, kita tidak hanya menyelamatkan generasi dari stunting dan gizi buruk, tetapi juga mengangkat harkat petani dan memperkuat ekonomi domestik dari akar rumput.
Inilah saatnya mengangkat fungsi pangan kepada komoditas perkebunan, dari yang selama ini hanya dipandang sebagai komoditas indutri dan komersil, menjadi sumber nutrisi di meja makan keluarga Indonesia.