
Jualan Kelapa Terancam Henti, Tapi Kalimat Ibu-Ibu ini Bikin Terharu
Repost - kompasiana.com
R. Dani Medionovianto, Penyuluh Pertanian Ahli Madya, BRMP Perkebunan
Minggu pagi biasanya saya isi dengan aktivitas lari kecil atau jalan sehat di luar rumah. Namun pagi ini berbeda. Gerimis rintik menyapa wilayah Cibinong Kabupaten Bogor sejak subuh, membuat niat berolahraga saya tertunda. Tapi seperti biasa, ada hal menarik yang justru terjadi saat rutinitas berubah. Dan kali ini, hal itu bermula dari permintaan sederhana istri saya: membeli kelapa.
Istri saya ingin memasak makanan berbahan dasar santan. Maka saya pun meluncur ke kios kelapa di luar kompleks perumahan. Tiba di sana, saya memesan dua butir kelapa: satu tua untuk diambil santannya, dan satu agak muda untuk diparut. Kios kecil itu dijaga oleh seorang bapak paruh baya yang ramah, bernama Pak Mariman.
Naluri saya sebagai penyuluh pertanian langsung terpicu. Sambil menunggu kelapa diparut, saya mulai mengobrol. "Pak, kelapa sekarang susah ya nyarinya?" tanya saya. Ia menjawab ringan, "Susah sih nggak Pak, cuma mahal." Saya lanjut bertanya soal harga dari agen. Dulu katanya masih di bawah Rp10.000 per butir, kini sudah naik menjadi Rp11.000 hingga Rp12.000. Kepada konsumen, ia menjual Rp15.000 per butir.
Usaha Kelapa Parut yang turut terkena dampak dengan harga kelapa naik. (Foto: dok. Pribadi)
Kenaikan harga ini membuatnya menurunkan stok. "Dulu bisa lebih dari 100 butir, sekarang paling banyak 100, kadang kurang," ujarnya. Penjualan pun menurun. Adik Pak Mariman yang juga berjualan kelapa, biasanya menghabiskan 200 butir sehari, kini seratus pun tak selalu laku.
Kenaikan harga ini membuatnya menurunkan stok. "Dulu bisa lebih dari 100 butir, sekarang paling banyak 100, kadang kurang," ujarnya. Penjualan pun menurun. Adik Pak Mariman yang juga berjualan kelapa, biasanya menghabiskan 200 butir sehari, kini seratus pun tak selalu laku.
Kondisi ini tentu tak lepas dari dinamika di sektor hulu. Sebagai penyuluh yang bekerja di BRMP Perkebunan Kementerian Pertanian, saya cukup paham bahwa dalam beberapa waktu terakhir ekspor kelapa butir meningkat cukup signifikan. Kebutuhan pasar internasional terhadap kelapa utuh maupun produk turunannya makin tinggi. Sementara di dalam negeri, pasokan yang terbatas langsung berdampak pada harga.
Ketersediaan kelapa di tingkat hulu agar dikembangkan. (Foto: Dok. Pribadi)
Di sinilah peran pemerintah sangat krusial. Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan penataan ulang terhadap regulasi ekspor kelapa butir. Harus ada batasan volume ekspor dan pengawasan ketat agar tidak terjadi kelangkaan di pasar domestik. Negara memang perlu mendorong ekspor untuk meningkatkan devisa, tetapi tidak boleh mengorbankan kepentingan rakyat di dalam negeri, apalagi pelaku usaha kecil seperti Pak Mariman yang bergantung pada kelapa sebagai sumber penghidupan.
Kelapa Butiran, untuk bahan baku rumah tangga (Foto: Dok. Pribadi)
Pemerintah juga perlu mendorong peningkatan produktivitas kelapa nasional melalui penyediaan bibit unggul, teknologi budidaya yang efisien, dan dukungan akses pembiayaan bagi petani. Selain itu, pemberdayaan pelaku usaha di hilir juga penting, seperti pelatihan diversifikasi produk turunan kelapa, pengemasan yang menarik, hingga pemasaran digital.
Saya sempat bertanya, "Kenapa Bapak tetap lanjut jualan kalau hasilnya menurun?" Ia tersenyum dan menjawab, "Soalnya sering ditanya ibu-ibu langganan, 'Pak, kenapa nggak jualan?' Ya jadi saya terusin aja, Pak."
Jawaban itu sederhana, tapi menyimpan pelajaran besar. Tentang makna kebermanfaatan. Tentang bagaimana usaha kecil sekalipun bisa punya nilai sosial yang tinggi di tengah masyarakat.
Dari Pak Mariman saya belajar, bahwa bertahan itu bukan hanya soal hitung-hitungan untung rugi. Tapi juga tentang menjawab kebutuhan orang lain, dan menyambung silaturahmi dengan pelanggan. Barangkali itulah yang membuat kios kelapanya tetap berdiri meski badai harga menerpa.
Saya pun pulang membawa dua butir kelapa dan satu pelajaran hidup. Di tengah gerimis pagi, obrolan kecil bisa menjadi pintu untuk memahami persoalan besar di akar rumput. Dan tugas saya sebagai penyuluh, bukan hanya menyampaikan ilmu, tapi juga mendengarkan, memahami, dan menyuarakan aspirasi masyarakat kecil kepada para pengambil kebijakan.