Harapan dan Tantangan Swasembada Gula
Repost – Kompas.com
DALAM satu dekade terakhir, konsumsi gula nasional Indonesia terus mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2023, konsumsi gula nasional tercatat sekitar 3,65 juta ton. Secara keseluruhan, rata-rata konsumsi gula mencapai 7,3 juta ton per tahun, terdiri dari 3,2 juta ton gula konsumsi (gula kristal putih/GKP) dan 4,1 juta ton gula industri (gula kristal rafinasi/GKR). Kebutuhan ini bahkan belum mencakup permintaan untuk monosodium glutamat dan pakan ternak, yang menegaskan betapa besarnya kebutuhan gula nasional.
Ironisnya, di tengah tingginya permintaan, produksi gula nasional justru mengalami tren penurunan. Pada 2022, produksi gula nasional mencapai 2,4 juta ton, namun pada 2023 jumlahnya turun menjadi 2,3 juta ton. Defisit sekitar 4,9 juta ton per tahun menjadikan Indonesia sebagai salah satu pengimpor gula terbesar di dunia. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan gula nasional.
Gula merupakan salah satu komoditas pangan strategis yang dibutuhkan masyarakat. Sebagai sumber kalori terbesar kedua setelah beras, gula memainkan peran penting dalam pola konsumsi masyarakat. Ketika konsumsi terus meningkat, tetapi produksi dalam negeri tidak mampu mengejarnya, ketergantungan pada impor menjadi solusi instan yang diambil pemerintah. Namun, ketergantungan pada impor tidak dapat terus-menerus menjadi solusi. Dalam jangka panjang, kebijakan ini berpotensi melemahkan ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, upaya swasembada gula perlu digalakkan.
Pemerintah telah menetapkan target melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023, dengan mencanangkan pengembangan areal tebu hingga mencapai 1,2 juta hektare pada tahun 2030. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan produksi gula domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor. Selain itu, pemerintah juga mendorong pengembangan industri bioetanol berbasis tebu, yang selain berfungsi mengatasi defisit gula, juga memperkuat ketahanan energi nasional.
Tantangan di Lapangan
Upaya swasembada gula tidak mudah. Sejarah panjang industri gula di Indonesia mencatat banyak dinamika, mulai dari masa kejayaan pada tahun 1930-an hingga nasionalisasi pabrik gula pada 1957, yang justru membuat jumlah pabrik gula berkurang drastis dari 179 menjadi hanya 30 pabrik.
Hingga kini, industri gula nasional masih menghadapi tantangan besar, salah satunya adalah rendahnya produktivitas dan tingkat rendemen. Rendemen tebu Indonesia hanya berkisar 5-6 persen, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara penghasil gula lainnya seperti Thailand dan India. Penyebabnya adalah penggunaan mesin-mesin tua yang sudah tidak efisien.
Produktivitas lahan juga menjadi sorotan. Meski luas lahan tebu meningkat dari 469.000 hektare pada 2013 menjadi 524.000 hektare pada 2022, produksi gula justru menurun dari 2,55 juta ton pada 2013 menjadi 2,4 juta ton pada 2022, dan diproyeksikan hanya 2,27 juta ton pada 2023.
Produktivitas tebu Indonesia per hektare juga masih lebih rendah dibandingkan negara-negara produsen gula lainnya. Sebagai perbandingan, produktivitas tebu di Indonesia adalah 71 ton per hektare, sementara Tiongkok mencapai 94 ton per hektare, Australia 85 ton per hektare, dan India 78 ton per hektare.
Kendala lainnya adalah sistem pengelolaan lahan dan dukungan teknologi. Sebagian besar perkebunan tebu dikelola oleh rakyat (52,39 persen), diikuti oleh perkebunan besar swasta (25,96 persen) dan perkebunan besar nasional (21,65 persen). Namun, pengelolaan lahan rakyat seringkali mengalami hambatan seperti minimnya akses terhadap teknologi modern, modal usaha, dan pembinaan intensif.
Selain itu, banyak pabrik gula di Indonesia, seperti Pabrik Gula Rendeng dan Pabrik Gula Tasikmadu, mengalami produktivitas rendah meski memiliki luas lahan cukup besar. Bahkan, terdapat kasus luas lahan mencapai ribuan hektar, tapi hasil produksinya tetap minim.
Harapan Revitalisasi Industri Gula
Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah mencanangkan revitalisasi industri gula melalui berbagai kebijakan strategis. Revitalisasi mencakup peningkatan produktivitas tebu, modernisasi mesin-mesin pabrik gula, dan optimalisasi luas lahan tebu.
Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 3,5 triliun kepada PTPN IX, X, dan XI. Dana ini digunakan untuk revitalisasi pabrik gula dan pengembangan industri hilir. Contoh konkret dari langkah ini adalah pembangunan Pabrik Gula Glenmore yang dikelola oleh PTPN XII dan XI sebagai proyek percontohan nasional.
Selain itu, pemerintah juga mengarahkan pengembangan industri hilir berbasis tebu. Limbah tebu yang sebelumnya terbuang kini dapat diolah menjadi bioetanol, biogas, pupuk organik, dan listrik. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi pabrik gula, tetapi juga memberikan nilai tambah bagi produk-produk hasil pengolahan tebu.
Dengan demikian, pengelolaan industri hilir dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pabrik gula dan petani tebu. Untuk meningkatkan produktivitas tebu, dukungan riset dan inovasi juga sangat dibutuhkan. Penggunaan varietas tebu unggul, pengelolaan lahan yang lebih baik, dan penerapan teknologi modern di lapangan menjadi kunci keberhasilan. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap lahan yang digunakan memiliki kesesuaian agroekologi yang baik.
Lahan dengan topografi datar, tekstur lempung, dan pH tanah 6,0-7,0 diyakini menjadi lahan yang sangat sesuai untuk budidaya tebu. Tanah-tanah dengan jenis Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dinilai paling cocok untuk tanaman ini.
Peluang Swasebada Gula
Untuk mencapai swasembada gula, terdapat sejumlah langkah strategis yang perlu diprioritaskan. Pertama, revitalisasi pabrik gula harus segera dilakukan, terutama terhadap pabrik-pabrik yang masih menggunakan mesin tua.
Modernisasi pabrik dengan pengadaan mesin-mesin canggih yang memiliki tingkat rendemen lebih tinggi menjadi langkah krusial. Kedua, pengelolaan industri hilir perlu diperkuat dengan mengoptimalkan pengolahan limbah tebu menjadi produk bernilai tambah, seperti bioetanol dan biogas.
Hal ini agar limbah tebu dapat dimanfaatkan secara produktif dan tidak terbuang sia-sia. Selanjutnya, perluasan dan pengelolaan lahan tebu juga menjadi faktor penting. Pemerintah harus memperluas lahan tebu hingga mencapai target 1,2 juta hektare pada tahun 2030.
Upaya ini perlu diikuti dengan pendampingan intensif kepada petani kecil agar mereka mampu mengelola lahan secara produktif dan berkelanjutan. Di sisi lain, kebijakan pengendalian impor gula perlu diatur dengan ketat. Impor gula hanya diperbolehkan sebagai langkah sementara untuk memenuhi defisit konsumsi domestik.
Pemerintah harus memiliki rencana strategis untuk menghentikan impor secara bertahap, seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi domestik. Penguatan kelembagaan juga menjadi elemen kunci dalam upaya swasembada gula.
Pemerintah perlu memperkuat peran lembaga pengelola gula, seperti PTPN dan Bulog, agar lebih efektif dalam mengelola stok gula dan menjaga stabilitas harga di pasar domestik. Pengelolaan yang lebih terkoordinasi dan terintegrasi dari lembaga-lembaga ini akan mendukung pencapaian target swasembada.
Oleh – Kuntoro Boga Andri Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan, Kementerian Pertanian